Sampai di Hari Tua
Hari ini pergi kemana?
Kamu benci jika harus berpergian dengan motor atau mobil, opsi satu-satunya adalah memanggil Pak Yadi ke rumah untuk datang dengan becak jagoannya yang siap mengantarmu pergi kemana saja.
Kamu selalu duduk di sebelah kanan, di tengah akan ada Zuhdan, dan di sebelah kiri akan diisi olehku yang asyik bermain gelembung atau balon dengan untaian kalimat tidak jelas tentang hal remeh-temeh yang terjadi di sekolah.
Kamu dengan kebaya andalanmu selalu tampil menawan, lalu di kemudian hari mengeluh karena kehilangan gigi depan. Tapi kamu tetap cantik, selalu cantik.
Satu-satunya momen kamu rela menaiki mobil adalah saat menjenguk cucu kecilmu yang dirawat di rumah sakit karena kekonyolannya sendiri. Entah apa yang terjadi di masa lalu sampai membuatmu selalu enggan menaiki motor atau mobil, tapi di situasi saat itu tidak mungkin kamu memaksa Pak Yadi membawamu dengan becaknya untuk menjengukku di kota lain.
Hari ini mau makan apa?
Tanganmu sepertinya dianugerahi Tuhan untuk membuat setiap bahan makanan menjadi masakan yang enak. Di antara banyaknya makanan yang kamu buat, favoritku tetap soto lengkap dengan suwiran daging ayam yang menggoda selera.
Empal buatanmu juga enak tapi aku tidak terlalu suka makanan berbumbu kuning, dendengmu juga enak tapi aku tidak terlalu suka daging sapi atau daging kambing jadi aku menyerah untuk memakannya, pilihanku selalu nasi rames dengan sambal merah yang meminta untuk dilebihkan porsinya.
Nasi goreng tanpa kecapmu juga enak meski awalnya aku menolak karena teguh dengan pendirian bahwa nasi goreng itu harus pakai kecap. Tapi saat suapan pertama, lagi-lagi aku terkesima karena ternyata nasi goreng favoritmu yang tanpa kecap itu juga sama enaknya.
Satu-satunya makanan yang aku buat untukmu adalah nasi goreng, padahal waktu itu aku ingat jelas bahwa aku terlalu banyak menabur garam, tapi kamu bersikeras bahwa rasanya tetap enak dan memakannya dengan lahap.
Hari ini mengobrol tentang apa?
Setiap pagi pertanyaanmu selalu sama, “Makan sama apa?” lalu dilanjutkan, “Udah mandi belum?”. Lalu kamu akan melanjutkan dengan kalimat panjang berisi komentar atau review ala-ala yang kamu buat tentang menu sarapan pagimu, “Nasi kuningnya kok sedikit lembek ya,” “Bakwannya kurang asin,” “Nasi uduk yang ini enak, beli di mana?”.
Di sore hari setiap pulang sekolah, kamu selalu menunggu di depan rumah dan mengintip siapa yang mengantar pulang si cucu perempuan, lalu berakhir dengan ucapan jahil, “Mi mau kenalan dong, siapa namanya.” Di pertemuan berikutnya, kalian berdua akhirnya bertemu dan sudah bisa ditebak selanjutnya kamu selalu membawa dia ke dalam obrolan di setiap kesempatan.
Kamu paling senang jika membahas tentang masa muda, usaha, atau hal lain berkaitan dengan agenda masak dan makanan. Tapi berapa kali kita menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan tentang memasak, aku tidak pernah bisa berhasil membuat sesuatu seenak buatanmu.
Nasihat dari kamu yang selalu aku ingat adalah tentang bagaimana perempuan harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri, selalu berbaik hati pada orang lain, tidak sombong, dan selalu menolong. Sebagai manusia, kita harus pandai dalam berbuat kebaikan, itu pesan yang berkali-kali kamu ucapkan.
Hari ini sedang apa?
Bagaimana di atas sana, Mi?
Saat kamu pergi, langit cerah sekali layaknya dewi-dewi ikut menyambut kedatanganmu di sana dengan penuh suka cita.
Kamu disambut dengan baik, kan?
Aku juga yakin kamu sudah terbebas dari rasa sakit, bisa berjalan kembali, atau bahkan bisa berlarian dengan bebas.
Selamat jalan dan selamat berbahagia di surga-Nya, dearest granny.